Kamis, 28 April 2016

RESENSI BUKU NY. LIE TJIAN TJOEN – MENDAHULUI SANG WAKTU

“WANITA HEBAT TEMPO DOELOE"


Judul                         : Ny. Lie Tjian Tjoen, Mendahului Sang Waktu
Penulis                      : A. Bobby Pr
Tanggal Terbit           : 17 Oktober 2014
Penerbit                    : Kompas
Tebal Halaman         : 207


           “Djangan, Tju, djangan ditulis lagi tentang diri saja, nanti orang anggap saja sombong dan hanja mau gedekan diri!” kalimat ini diucapkan oleh Ny. Lie Tjian Tjoen pada saat seorang wartawan ingin menulis sosok dirinya sebagai pendiri Roemah Piatoe Ati Soetji. Bagi Ny. Lie, pengabdian yang dia lakukan tidak layak diketahui oleh orang lain. Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tau.
             Buku Ny. Lie ditulis oleh A. Bobby Pr yang lahir di Jakarta, 5 Mei 1969. Bobby telah mendalami dunia penerbitan dan jurnalistik saat kuliah di Politeknik Universitas Indonesia. Bobby telah menekuni penulisan biografi sejak dibangku kuliah. Beberapa karyanya yang lain, mendukung penulisan buku Ny. Lie menjadi lebih baik lagi.
       Cerita ini diawali lahirnya Auw Tjoei Lan yang lahir di Desa Karangsambung, Kadipaten, Majalengka pada tanggal 24 Februari 1889 sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Auw Tjoei Lan terlahir di keluarga yang kaya raya sehingga ia mendapatkan pendidikan yang cukup, meskipun kaya raya Ayah Auw Tjoei Lan sangat dermawan dan ia juga menularkan jiwa sosialnya kepada anaknya.
          Setelah dirasa siap, Auw Tjoei Lan dijodohkan oleh keluarganya. Auw Tjoei Lan menikah dengan Lie Tjian Tjoen pada 2 Maret 1907. Lie Tjian Tjoen adalah anak seorang mayor di Batavia. Dari pernikahan ini, Tjoei Lan dikaruniai 5 orang anak. Sosok Lie Tjian Tjoen yang keras dan tidak banyak bicara sangat berbeda dengan karakter istrinya. Tjoei Lan adalah perempuan yang lembut dan dikenal memiliki sikap welas asih. Bila melihat orang-orang yang menderita, ia mudah terharu dan segera menolong orang itu tanpa memperhitungkan akibatnya.
       Lie Tjian Tjoen sering menghadiri pertemuan rutin dikantor pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dalam beberapa kesempatan Tjoei Lan sering diajak suaminya keberbagai acara. Dari pertemuan tersebut Tjoei Lan memiliki wawasan luas dan kenalan baru. Salah satu kenalan Tjoei Lan adalah dokter Zigman. Dokter Zigman mengajak Tjoei Lan bergabung dalam kepengurusan badan sosial untuk menolong perempuan-perempuan Tionghoa yang malang. Badan sosial ini berusaha untuk menyelamatkan perempuan-perempuan malang dari tangan germo dan kaki tangannya. Nama lembaga tersebut adalah Ati Soetji.
        Sejak bergabung di Ati Soetji, Ny. Lie telah mengabdikan hidupnya untuk menolong perempuan-perempuan yang didatangkan dari Tiongkok dan dijual di Batavia. Mereka dipaksa untuk melayani lelaki hidung belang atau menjadi istri muda. Sebagian lagi yang tidak memiliki wajah menarik dipaksa menjadi pembantu. Nasib mereka sangat menyedihkan sebab sering kali mendapat siksaan disekujur tubuhnya.
        Disaat tertentu Ny. Lie juga menggunakan kedudukan suaminya untuk menyelamatkan gadis-gadis yang malang dari jeratan pelacuran. Dengan pangkat suaminya sebagai kapten, Ny. Lie dapat memiliki surat izin masuk ke kapal yang baru merapat di pelabuhan untuk memeriksa apakah ada gadis-gadis yang perlu diselamatkan. Berkat suaminya, dia mendapat bantuan dari polisi atau jaksa. Gadis-gadis malang ini ditampung di Hati Suci, mereka mendapat kasih, perhatian, pendidikan dan keterampilan dari Ny. Lie. Keterampilan-keterampilan yang diberikan nantinya berguna untuk modal mereka berumah tangga.
            Awal tahun 1942, pasukan Jepang melakukan penyerangan dan berhasil menduduki Hindia Belanda. Ny. Lie dan para pemimpin Tionghoa ditangkap oleh Jepang karena dicurigai ikut bekerjasama dengan Belanda, namun akhirnya Ny. Lie dibebaskan karena terbukti tidak bersalah dan pada saat itu juga kondisi keuangan Hati Suci sangat memperihatinkan sehingga Ny. Lie memberanikan diri meminta pertolongan dari orang-orang jepang. Tentara jepang yang mendengarkan kesulitan Ny. Lie tergerak hatinya untuk membantu.
            Sejak berdiri 27 oktober 1914, anak anak yang tinggal di hati suci atau yang dikenal dengan nama ‘Po Liang Kiok’ itu dari hari ke hari semakin bertambah. Ada anak yang ditemukan disekitar halaman rumahnya. Yang diantar oleh polisi atau orang lain dan datang dari berbagai belahan Nusantara. Pekarangan Ny. Lie sering menjadi “tempat pembuangan” bayi-bayi tidak berdosa. Bayi-bayi itu ditemukan diantara pot besar, dibawah pohon cemara, didepan pintu, didekat pagar, dan lain-lain. Ny. Lie menerima bayi-bayi itu dengan penuh kebahagiaan dan suka cita, seolah mendapat bingkisan dari Sinterklas.
       Kepedulian Ny. Lie kepada anak-anak membuat Perserikatan Bangsa-bangsa mengakui hak-hak anak dengan mendeklarasikan “Sepuluh Hak Dasar Anak” pada Tahun 1959. Ny. Lie merupakan perempuan keturunan Tionghoa pertama yang mendapat Ordo Oranje Nassu. Ny. Lie telah memperoleh penghargaan sejenis sepuluh tahun sebelumnya. Surat penghargaan itu juga ditandatangani Ratu Wilhelmia pada tanggal 24 Agustus 1925. Sejak mendapatkan penghargaan, karya Ny. Lie mulai mendapat perhatian media massa.
            Agustus 1965, Ny. Lie jatuh sakit. Perempuan berusia 76 tahun itu memendam rasa sakitnya sendiri. Ny. Lie menderita fungsi jantung dan lever yang tidak berfungsi dengan baik. Selain itu Ny. Lie mengidap penyakit diabetes dan rematik. Akhirnya, Pada 19 september 1965, Ny. Lie menghembuskan nafas terakhirnya.
         Setelah Ny. Lie meninggal, ribuan anak yang telah terselamatkan lewat hati suci, mereka semua dan seluruh keluarga besar Lie Tjian Tjoen masih mengenang sosok perempuan ini. Ny. Lie merupakan sosok yang selalu berkarya sepenuh hati, tanpa keinginan mencari popularitas. Baginya, melakukan karya harus dengan tulus. Ny. Lie akan selalu memberikan kasih kepada mereka yang membutuhkan tanpa membeda-bedakan siapa dan bagaimana akibatnya. Ny. Lie telah berkarya meskipun dalam keheningan.
        Bahasa digunakan penulis sangat sederhana dan mudah dimengerti, sehingga pembaca tidak harus membacanya berkali-kali. Selain itu gaya penulis dalam mengarahkan cerita juga membuat pembaca dapat membayangkan suasana yang terjadi, buku ini juga dilengkapi dengan dokumen-dokumen foto yang memperjelas suasana saat itu. Namun, dalam penyusunan buku terkesan masih kurang sistematis dan banyak kisah yang diulang-ulang dalam bab tertentu. Dalam beberapa teks tertentu, juga masih ada beberapa paragraf dengan ejaan lama dan tidak diartikan lagi ke ejaan yang digunakan sekarang sehingga akan sedikit menyulitkan pembaca untuk memahami.
           Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh seluruh generasi muda Indonesia karena sangat menginspirasi kita untuk selalu berkarya dengan tulus dan tanpa kenal lelah untuk mengasihi siapapun yang membutuhkan. Selain menginspirasi, buku ini bisa menjadi sebuah contoh teladan yang baik. Buku ini juga mengingatkan pembaca bahwa sebuah pengabdian, akan selalu dikenang oleh orang yang merasakannya. Kita tidak perlu memberitahu orang banyak mengenai pengabdian yang dilakukan, bagaikan angin yang berhembus dari suatu tempat ketempat lainnya, pengabdian itu akan diketahui oleh orang lain nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar