Senin, 20 Juni 2016

RESENSI FILM SAPU TANGAN FANG YIN

“DISKRIMINASI MEMBUNUH JIWA”



Judul              : Sapu Tangan Fang Yin
Genre             : Drama
Produser        : Hanung Bramantyo
Sutradara      : Karin Bintaro
Tanggal Rilis : 17 September 2012
Durasi            : 48 menit


“Tuhan, beri aku keberanian untuk pulang. Ke tanah yang telah melahirkanku dan tanah yang akan menguburku”

                Sapu Tangan Fang Yin merupakan sebuah film drama yang diproduseri oleh Hanung Bramantyo. Film ini merupakan film yang diangkat dari buku karya Denny JA berjudul ‘Fang Yin’s Hankerrchief’ (Sapu Tangan Fang Yin). Buku ini berhasil menjadi best seller di toko buku online terbesar dunia yaitu Amazon. Dengan sentuhan produser Hanung Bramantyo dan sutradara Karin Bintaro, film ini berhasil menampilkan point penting mengenai anti diskriminasi.
Film ini berkisah mengenai kehidupan seorang gadis Tionghoa bernama Fang Yin. Fang Yin merupakan seorang gadis yang ceria, selalu bersemangat dan berjiwa sosial tinggi. Dalam kesehariannya, Fang Yin sering membagi waktunya untuk anak-anak dibawah jembatan ditemani oleh Albert. Fang Yin dan Albert sempat memiliki rencana untuk mendirikan yayasan untuk anak jalanan.
Namun, harapan itu pupus ketika tragedi Mei 1998 terjadi. Fang Yin menjadi salah satu korban pemerkosaan diantara 78 warga keturunan Tionghoa lainnya. Fang Yin mengalami trauma begitu dalam dan menjadi sangat takut terhadap Indonesia. Semenjak kejadian tersebut, kedua orang tuanya menjual barang serta rumahnya dan pindah ke Amerika. Dan sejak saat itu juga Albert dan Fang Yin putus hubungan. Dalam hari-hari Fang Yin di Amerika yang tersisa hanyalah Sapu Tangan yang diberikan Albert untuk menghapus air matanya saat itu, Sapu Tangan itu juga menjadi sebuah saksi bisu dari rasa trauma Fang Yin yang mendalam.
            Hari demi hari berlalu, meskipun Fang Yin telah meninggalkan Indonesia namun rasa traumanya tidak hilang. Berbagai cara telah dilakukan oleh kedua orang tua Fang Yin untuk memulihkan keadaan Fang Yin. Sampai akhirnya, orang tuanya mempertemukan Fang Yin dengan Raisa. Raisa merupakan seorang psikolog yang juga berasal dari Indonesia. Tidak mudah bagi Raisa untuk memulihkan keadaan Fang Yin.
Seiring berjalannya waktu, Fang Yin dan Raisa menjadi sahabat dekat. Kehidupan Fang Yin pun menjadi jauh lebih baik setelah Fang Yin diterima disebuah Universitas Seni. Meskipun keadaan Fang Yin sudah membaik, namun Fang Yin sangat membenci Indonesia. Baginya, Indonesia adalah masa lalu kelam yang sangat menyakitkan dan tidak pernah ada pertanggung jawaban dari apa yang telah terjadi padanya.
13 tahun berlalu, kondisi Indonesia telah membaik. Kedua orang tua Fang Yin akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Namun, Fang Yin menolak untuk ikut dengan kedua orang tuanya. Fang Yin masih menyimpan trauma yang membekas dihatinya. Hari demi hari setelah orang tua Fang Yin kembali ke Indonesia, Fang Yin merasa sangat kesepian.
Suatu ketika Raisa bertemu dengan Fang Yin, Raisa pun menceritakan bahwa Indonesia tidaklah seperti dulu lagi. Akhirnya, hati Fang Yin pun mulai tersentuh dan Fang Yin mulai mencari tau tentang kondisi Indonesia saat ini. Fang Yin melihat bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak terlihat lagi, hal ini ditandai dengan tidak adanya larangan terhadap kebudayaan Tionghoa seperti Barongsai, selain itu ada beberapa warga etnis Tionghoa yang menjabat dikursi pemerintahan.
Fang Yin pun mulai melupakan masa lalunya, Fang Yin membakar sapu tangan yang selalu menenemani pada saat ia sedih dan menjadi saksi bisu masa lalunya yang kelam. Terbakarnya sapu tangan ini membuat Fang Yin sadar akan terhapusnya semua kenangan kelam dalam dirinya. Amarahnya terhadap Indonesia mulai mereda. Fang Yin pun mulai memberanikan diri menginjakkan kaki di Indonesia yang merupakan tanah yang melahirkan dan tanah yang akan menguburnya.
Ketika kita menonton film ini, kita akan disuguhkan perpaduan antara sejarah, emosi, trauma dan nasionalisme. Film ini berhasil merefleksikan kembali ingatan terhadap tragedi Mei 1998. Film ini sangat menyentuh dan membuat penontonnya merasakan emosi dan rasa trauma yang sangat mendalam. Selain itu, puisi yang dibacakan menambah dalam penghayatan, nyawa dan makna dari film tersebut.
Film ini tidak boleh dilewatkan oleh masyarakat Indonesia. Film ini mengandung pesan moral yang tinggi dimana seharusnya perlakuan diskriminasi tidak perlu dilakukan. Dengan adanya film ini diharapkan pada saat selesai menonton warga Indonesia lebih memahami mengenai toleransi, memahami Bhineka Tunggal Ika dan menghapus perlakuan diskrimi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar