“DISKRIMINASI
MEMBUNUH JIWA”
Judul : Sapu Tangan Fang Yin
Genre : Drama
Produser : Hanung Bramantyo
Sutradara :
Karin Bintaro
Tanggal
Rilis : 17 September 2012
Durasi :
48 menit
“Tuhan, beri aku keberanian untuk pulang. Ke tanah yang telah
melahirkanku dan tanah yang akan menguburku”
Sapu
Tangan Fang Yin merupakan sebuah film drama yang diproduseri oleh Hanung
Bramantyo. Film ini merupakan film yang diangkat dari buku karya Denny JA
berjudul ‘Fang Yin’s Hankerrchief’
(Sapu Tangan Fang Yin). Buku ini berhasil menjadi best seller di toko buku
online terbesar dunia yaitu Amazon. Dengan sentuhan produser Hanung Bramantyo
dan sutradara Karin Bintaro, film ini berhasil menampilkan point penting
mengenai anti diskriminasi.
Film
ini berkisah mengenai kehidupan seorang gadis Tionghoa bernama Fang Yin. Fang
Yin merupakan seorang gadis yang ceria, selalu bersemangat dan berjiwa sosial
tinggi. Dalam kesehariannya, Fang Yin sering membagi waktunya untuk anak-anak
dibawah jembatan ditemani oleh Albert. Fang Yin dan Albert sempat memiliki
rencana untuk mendirikan yayasan untuk anak jalanan.
Namun,
harapan itu pupus ketika tragedi Mei 1998 terjadi. Fang Yin menjadi salah satu
korban pemerkosaan diantara 78 warga keturunan Tionghoa lainnya. Fang Yin
mengalami trauma begitu dalam dan menjadi sangat takut terhadap Indonesia. Semenjak
kejadian tersebut, kedua orang tuanya menjual barang serta rumahnya dan pindah
ke Amerika. Dan sejak saat itu juga Albert dan Fang Yin putus hubungan. Dalam
hari-hari Fang Yin di Amerika yang tersisa hanyalah Sapu Tangan yang diberikan
Albert untuk menghapus air matanya saat itu, Sapu Tangan itu juga menjadi
sebuah saksi bisu dari rasa trauma Fang Yin yang mendalam.
Hari demi hari berlalu, meskipun Fang Yin telah
meninggalkan Indonesia namun rasa traumanya tidak hilang. Berbagai cara telah
dilakukan oleh kedua orang tua Fang Yin untuk memulihkan keadaan Fang Yin.
Sampai akhirnya, orang tuanya mempertemukan Fang Yin dengan Raisa. Raisa
merupakan seorang psikolog yang juga berasal dari Indonesia. Tidak mudah bagi
Raisa untuk memulihkan keadaan Fang Yin.
Seiring
berjalannya waktu, Fang Yin dan Raisa menjadi sahabat dekat. Kehidupan Fang Yin
pun menjadi jauh lebih baik setelah Fang Yin diterima disebuah Universitas
Seni. Meskipun keadaan Fang Yin sudah membaik, namun Fang Yin sangat membenci
Indonesia. Baginya, Indonesia adalah masa lalu kelam yang sangat menyakitkan dan
tidak pernah ada pertanggung jawaban dari apa yang telah terjadi padanya.
13
tahun berlalu, kondisi Indonesia telah membaik. Kedua orang tua Fang Yin akhirnya
memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Namun, Fang Yin menolak untuk ikut
dengan kedua orang tuanya. Fang Yin masih menyimpan trauma yang membekas
dihatinya. Hari demi hari setelah orang tua Fang Yin kembali ke Indonesia, Fang
Yin merasa sangat kesepian.
Suatu
ketika Raisa bertemu dengan Fang Yin, Raisa pun menceritakan bahwa Indonesia
tidaklah seperti dulu lagi. Akhirnya, hati Fang Yin pun mulai tersentuh dan Fang
Yin mulai mencari tau tentang kondisi Indonesia saat ini. Fang Yin melihat
bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak terlihat lagi, hal ini
ditandai dengan tidak adanya larangan terhadap kebudayaan Tionghoa seperti
Barongsai, selain itu ada beberapa warga etnis Tionghoa yang menjabat dikursi
pemerintahan.
Fang Yin
pun mulai melupakan masa lalunya, Fang Yin membakar sapu tangan yang selalu
menenemani pada saat ia sedih dan menjadi saksi bisu masa lalunya yang kelam.
Terbakarnya sapu tangan ini membuat Fang Yin sadar akan terhapusnya semua
kenangan kelam dalam dirinya. Amarahnya terhadap Indonesia mulai mereda. Fang
Yin pun mulai memberanikan diri menginjakkan kaki di Indonesia yang merupakan
tanah yang melahirkan dan tanah yang akan menguburnya.
Ketika
kita menonton film ini, kita akan disuguhkan perpaduan antara sejarah, emosi,
trauma dan nasionalisme. Film ini berhasil merefleksikan
kembali ingatan terhadap tragedi Mei 1998.
Film ini sangat menyentuh dan membuat penontonnya merasakan emosi dan rasa trauma
yang sangat mendalam. Selain itu, puisi yang dibacakan menambah dalam
penghayatan, nyawa dan makna dari film tersebut.
Film ini tidak boleh
dilewatkan oleh masyarakat Indonesia. Film ini mengandung pesan moral yang
tinggi dimana seharusnya perlakuan diskriminasi tidak perlu dilakukan. Dengan
adanya film ini diharapkan pada saat selesai menonton warga Indonesia lebih
memahami mengenai toleransi, memahami Bhineka Tunggal Ika dan menghapus
perlakuan diskrimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar